Secangkir Kopi Untuk Senja
![]() |
canva.com |
Teruntuk senjaku
tercinta, bersama surat ini aku telah memesan kopi untukmu. Memang bukan kopi
mahal ataupun terkenal. Bukan kopi yang secangkirnya lima puluh ribu, bukan
juga kopi yang dinikmati hanya untuk diabadikan oleh kamera. Ini hanya kopi
biasa, dengan harga biasa dan dibeli di tempat yang biasa. Bahkan uang untuk
mendapatkannyapun biasa; aku hanya perlu beradu terlebih dahulu dengan gesekan
batu, tanganku hitam sebab sering terpapar sinar matahari dan wajahku kusam karena
terlalu banyak asap kendaraan yang menempel.
Maaf jika hanya
ini yang bisa aku berikan, sebab aku tak pandai merangkai kata-kata. Tak pintar
membuat kata-kata romantis sembari memposting potomu di sosial media, ataupun
kata-kata termanis dari seorang lelaki yang ditulis dari atas gunung diselembar
kertas dengan bertuliskan nama kekasihnya, aku tidak seperti itu senja. Aku
juga tidak seperti lelaki diluar sana yang sangat pandai merangkai kata disaat
kekasihnya sedang terluka atas sikapnya, kata-kata..kata-kata banyak sekali
disalah artikan akhir-akhir ini, disangka kata-kata hanya dikeluarkan untuk
sementara, banyak kata-kata yang tidak dipertanggung jawabkan sama seseorang
yang mengeluarkan kata-kata itu. Jadi cintaku bukan hanya sebatas kata-kata.
Aku mohon maaf
kembali, sebab aku hanya bisa membeli secangkir saja, memang uangku hanya cukup
membeli segitu. Tapi kita ambil positifnya saja, dengan begitu bukankah bisa
kita nikmati berdua? Kemudian bekas bibirmu yang menempel di ujung cangkir bisa
aku nikmati tanpa berdosa dan mungkin ini cara sang pencipta agar kita saling
bertukar rasa tentang kopi yang diseruput bersama.
Senjaku, bolehkah
aku bercerita sedikit? Tentang bagaimana aku bisa mendapatkan kopi ini. Jadi
kelak jika kau meminumnya, bisa sembari membaca ceritanya. Agar dirimu,
pikiranmu dan hatimu ikut larut kedalam kopi ini. Maaf jika lancang, ijinkan
aku juga untuk menceritakan ini, kepada mereka-mereka yang baru memberikan
kekasihnya cokelat, bunga ataupun puisi yang dikutip dari google tanpa mencantumkan
penulisnya tetapi sudah dikatakan romantis. Maka dengarkan wahai kau adam,
dengarkan! pasang telingamu!
Selepas bekerja,
aku langsung mengantri ke kedai kopi yang terletak di selatan Jakarta. Tangan
dan wajahku masih kotor akan debu jalanan. Tak kuperdulikan semuanya, asal aku
mendapatkan kopi itu dengan cepat tak mengapa. Maghrib tiba, aku masih saja
belum mendapatkannya. Aku ijin untuk solat terlebih dahulu, kutitipkan
antrianku kepada seseorang di belakangku. Di sela-sela sujud, aku merintih, merendah
serendah-rendahnya dihadapan sang pencipta. Berdoa dengan nada pelan sembari
memuji nama-nama Tuhan. Aku berdialog kepada sang pencipta; tentang agar kita
di jodohkan, agar dirimu dipermudah dari segala urusan hingga diberikan
kemudahan untuk membahagiakanmu tanpa ada batasan.
Pukul dua puluh
satu lewat tujuh, antrian mulai mengerucut, aku hitung-hitung tinggal enam
orang lagi dari tempatku berdiri. Aku bahagia setengah mati, jerih payahku
tidak sia-sia sama sekali. Satu persatu orang mulai mendapatkan kopi itu,
dengan raut wajah bahagia dan senyum yang terpancar dari bibir mereka. Beragam
cara aku lihat orang menikmati kopi ini, ada yang menyeruput kopi sembari
berdiri dengan rokok di tangan kanannya, ada yang berbincang santai dengan
pacarnya sembari diiringi musisi jalanan, ada juga yang duduk sembari melihat pemandangan
kota metropolitan yang dipenuhi kendaraan para kapitalis. Tapi aku rasa, semua
orang ini hanya menikmati suasananya saja, tidak terfokus pada aroma kopi itu
sendiri.
Tinggal satu
orang lagi aku akan mendapatkannya juga. Tetapi bukan cinta kalo tanpa
perjuangan. Disaat antrianku tiba, barista itu berkata “kopi sudah habis! Maaf,
untuk yang tidak bisa mendapatkannya”. Mendengar itu aku meradang, emosiku
seketika meningkat, ingin sekali mengajaknya berkelahi “mas jaga ucapanmu,
jangan seenaknya kamu menggagalkan usahaku untuk membahagiakannya” ucapku
kepada barista itu sembari menunjuk jari telunjukku ke wajahnya. Tapi semua
emosi dan kekesalanku luluh, ketika aku ingat perkataan dirimu yang tidak suka
lelaki pemarah, emosional dan tempramental.
Aku menarik
nafas, mencoba menenangkan suasana hati terlebih dahulu. Melihat ke jalan,
menatap mata para orang-orang yang tidak kebagian, memikirkan tentang suatu
jawaban tentang pertanyaan “kemana kopiku, kenapa kamu tidak membawanya?” apa
yang harus aku jawab. Aku tahu mungkin senja tidak akan marah, dia wanita baik
yang pernah aku cinta. Namun aku merasa malu, atas kegagalan membahagiakannya. Aku
mencoba berbicara secara baik-baik dengan barista itu, apakah ada jalan keluar
dari permasalahan ini. Wajahku memelas seraya berkata
“masih adakah
kopi yang tersisa walaupun setetes?”
“bentar yah mas,
saya periksa dulu” ujar si barista.
“tolong mas!
bantu aku untuk menjadikan dia wanita yang paling bahagia” pesan yang kubisikan
ke telinga barista.
Sepertinya sang
pencipta telah mengabulkan doaku, dengan barista mengiyakan permintaanku. diraciklah
kopi dari sisa-sisa kopi yang tersisa. Selesai sudah, kopi itu sudah di
tanganku.
“biasanya yang
terakhir itu yang paling nikmat mas” ucap si barista itu.
Aku sangat bahagia,
jika lelaki boleh menangis ditempat umum, aku akan menangis saat itu juga. Bahagiaku
tak bisa diukur walaupun dengan alat secanggih apapun, jantungku berdetak lebih
kencang dari letusan gunung krakatau dan mulutku tak henti-hentinya berterima
kasih kepada sang pencipta.
Senja ini kopi
untukmu, kopi yang selama ini kamu inginkan.
Aku mulai
mengayuh sepedaku, tangan kananku memegang stang dan satunya menjaga kopi ini agar
tidak jatuh. Aku dekap terus kopi ini, agar tidak ada kaum marjinal yang melihat
kopi ini kemudian memintanya dengan paksa, sebab aku sedang malas berkelahi.
Aku juga membungkus kopi ini dengan plastik hitam, agar tidak ada orang lain
yang melihatnya kemudian merengek untuk memintanya. Jadi aku mohon maaf kepada
mereka, hari ini aku sedang pelit. aku juga sedang tidak peduli akan sesama,
tujuanku hanya satu mempersembahkan secangkir kopi ini untukmu, senjaku
tercinta.
Semakin kencang
kugayuh sepeda onthel tahun 70 ini. Sepeda pemberian bapakku dengan warna cat
yang sudah memudar ditambah ada sebagian bodynya yang karatan menjadi
satu-satunya kendaraan yang kugunakan jika rindu meminta temu. Memecah lampu
jalan yang memantul indah disetiap body
mobil, menerobos bisingnya suara kernet angkutan umum, membalap bmw, merci dan
ferarri yang terjebak macet, selap-selip diantara trotoar dan pedagang kaki
lima. Lampu merah memberhentikan sepedaku, dijeda lampu merah aku membayangkan
dirimu senja. Lagi apa kamu disana? Apa yang harus aku katakan nanti jika kamu
bertanya “kok lama, aku kan rindu?” apa yang harus aku lakukan jika sudah
ditatap matamu yang teduh dan senyummu yang menggemaskan itu? Kemudian dirimu harus
kucium dari mana terlebih dahulu, bibir apa keningkah? Sudah liat saja nanti
yang terpenting aku ingin segera bertemumu, aku rindu.
“Mas” suara
wanita dengan makeup menghiasi seluruh wajahnya dan gincu yang berwarna merah
membuyarkan lamunanku.
“Apa yang kau
bawa? Sampai wanginya masuk ke mobilku”
“Aku tidak
membawa apa-apa, ini hanya secangkir kopi”
“Bolehku lihat?”
Dengan kaca jendelanya dibuka lebih besar sembari kepalanya mendongak keluar.
“Tidak boleh! aku
takut pemiliknya cemburu”
Nampaknya wanita
ini sangat mengingkan kopiku, sampai-sampai dia ingin membayarkannya
“aku bayarin
seratus ribu yah mas?”
“Maaf mba ini bukan
untuk dijual”
Tiba-tiba lelaki
yang sedang duduk disampingnya dengan jam tangan yang menyilaukan mataku ikut
dalam perbincangan.
“Mas sudah lepas
saja, pacar saya mau kopi itu. saya naikin jadi 500 ribu deh”
“Maaf mas saya
sudah bilang tidak menjualnya” tegas diriku.
Saya mulai
mencoba tidak mendengarkan perkataan sepasang kekasih ini, kemudian lelaki ini
merespon dengan perkataan yang menurutku tidak pantas keluar dari mulut seorang
yang berpakaian rapi beserta barang-barang mahal yang menempel di badannya.
“Dasar orang
miskin saja belagu”
“mas tolong jaga
perkataanmu, walaupun mobilmu sekalipun ditawarkan kepadaku untuk ditukar
dengan kopi ini, aku tetap tak akan menjualnya”
Lampu hijau
menyala, aku segera mengayuh sepedaku sembari berkata dalam hati “dasar anak
kota tidak tahu artinya perjuangan, kerjaanya hanya menyombongkan harta orang
tua”.
Aku memotong
jalan, tujuannya agar cepat sampai ditujuan. Sebab pukul sudah menunjukan ke
angka sebelas yang kulihat dari arlojiku. Masuk ke gang-gang sempit,
selip-selip diantara gerobak para asongan yang di parkirkan sembarangan. Hingga
pada akhirnya aku berhenti sejenak pada suatu warung. Membeli roti seribuan
berwarna hijau isi cokelat, sangat keras namun tak mengapa untuk sedikit
menganjal perutku. Sedang nikmat-nikmatnya memakan roti ini, tiga pemuda
menghampiriku. Yang satu rambutnya agak gondrong, satu lagi gendut dengan tato
naga di lengan kirinya dan satu lagi kurus, botak sembari memegang gitar di
tangan kananya.
“Mas bawa apa
itu” salah satu darinya bertanya kapadaku.
“Ini mas hanya
secangkir kopi”
“sini buatku yah”
si gendut dengan tato naganya di lengan kiri mangambil paksa kopi ini dari
tanganku.
Lantas aku
berdiri dan meminta untuk mengembalikannya. Mereka seperti jagoan di film-film yang
sedang merayakan kemenangan dengan
saling tos, saling tawa, saling berkata “kita akan pesta malam ini”. “Pukkk” aku
memukul lelaki gendut itu di bagian bibirnya, hingga dia terjatuh dan berdarah.
Lantas teman-temannya membangunkannya. Aku segera mengambil kopiku kembali.
Tiba-tiba pemuda yang gondrong mengeluarkan
pisau karter dari saku celannya sembari menodongkan ke arahku, aku tak banyak
berpikir saat itu. Yang aku tau waktu sudah malam dan kopi sudah agak
menghangat. Kalau aku hadapi satu persatu hanya buang-buang waktu, lantas aku
lari dengan meninggalkan sepedaku, tiga pemuda ini mengejarku. Aku lari, lari
sekencangnya, sembari mendekap erat kopi ini agar tidak tumpah. Aku menengok
kebelakang, mereka masih mengejarku tetapi si gendut sudah menunduk sembari
mengatur nafas, si botak dan si gondrong masih mengejarku.
“woyy jangan
lari, sini kopi lu” suaranya yang agak kencang semakin memperkencang lariku.
Setelah beberapa menit, aku menengok kembali kebelakang, nampaknya mereka sudah
tertinggal jauh dariku. Jauh.. jauhhh dan jauhh dan akhirnya mereka berhenti
mengejar, mereka menghilang ditelan cahaya.
Astaga kau boleh
tidak percaya tapi aku yakin kau akan tetap membacanya
Senjaku,
kekasihku. aku bertamu jangan lekas tidur dulu
Aku sampai di suatu
rumah, rumah yang pemiliknya sangat aku cinta, rumah yang aku ingin sekali menghabiskan
masa tua, dan rumah yang di dalamnya ada seseorang yang mengajariku apa arti
bahagia. Dengan gerbang berwarna hitam dan pohon manga besar ditambah suatu papan kecil yang bertuliskan “tamu harap
lapor terlebih dahulu”, aku berdiri disitu. Melihat ke depan rumahmu yang
sangat besar, bernuansa minimalis dengan paduan cat cokelat dan lampu agak
keemasan semakin menarik suasana rumah ini. Mataku terus manatap kamarmu yang
berada di lantai atas sebelah kiri, dengan lampu kamar masih menyala aku yakin
kamu belom tidur. “Assalamualaikum misi” aku beranikan diri untuk mengantarkan
kopi ini secara sopan. Lima menit kutunggu, tak ada satupun orang yang keluar,
hanya beberapa nyamuk yang terus menggerayangi tubuhku. Aku panggil kembali tetapi
sekarang sembari menggedor gerbangnya, satu kali dua kali tiga kali aku
menggedornya, akhirnya ada suara dari dalam rumah. Keluarlah sosok laki-laki
berbadan besar, kumis tebal dengan piyama berwarna putih yang menutupi
tubuhnya. Dia adalah pak amran, bapaknya senja, calon menantuku. Dia mendekat.
Semakin dekat denganku “siapa kamu mas? Ada apa malem-malem kesini?” Suaranya
yang agak tegas sedikit menurunkan nyaliku. “Saya fajar pak, saya kesini hanya
ingin mengantarkan kopi seperti yang anak bapak inginkan” “Tunggu sebentar mas”
pak amran masuk kedalam rumah. Aku mendengar sedikit percakapan dengan nada
tinggi dari dalam rumah senja, sewaktu itu aku sedikit mendengar kata-kata
“ngapain kamu menyuruh orang kesini? Sudah jelek, bau dan miskin” dan sedikit samar-samar
suara isak tangis dari seorang perempuan yang kukira senja. Aku tidak mau
berpikiran buruk dengan semua percakapan didalam rumah itu. Aku lihat keatas disebelah
kiri tepat di kamar senja, yang tadinya menyala tiba-tiba lampunya sudah redup.
Pak amran keluar kembali, dengan berkata “mas senjanya sudah tidur! kelelahan
sepertinya, setelah abis jalan sama temen cowonya”. Disangka aku baru mengenal
senja seminggu dua minggu, dengan berkata begitu lantas aku percaya. Senjaku
tidak semurah itu, dia tidak suka jalan kecuali denganku. Walaupun jalan dengan
pria lain aku pastikan dia pasti terpaksa.
“Sudah mas
pulang saja, kopi yang untuk senja diminum sendiri saja, senja juga tidak suka
kopi murah seperti itu”. Aku menarik nafas, ingin sekali aku pukul mulutnya
yang lancang itu. tetapi tidak, aku masih menghormati senja. Gerbang di tutup
kembali, pak amran meninggalkanku dengan langkah yang dipercepat.
Diselimuti
suasana malam yang amat sejuk, aku senderan di batang pohon mangga sembari
menatap langit yang sedang dihiasi gemerlap cahaya bintang. Kalau boleh jujur,
memang malam itu semesta sedang cantik-cantiknya. Senja, andai kau ada di
sampingku sembari menyeruput kopi ini. Kemudian mata kita saling bertatap,
mengelap keringatku dengan tanganmu, senyum andalanmu yang akan membuat lelah
ini hilang. Tak lupa mendengarkan cerita tentang keseharianmu dengan kepalamu
merebah di pundaku dan aku akan menceritakan semua hal yang menyenangkan tentang
kopi ini.
Sungguh malam
yang indah, jika itu bisa terjadi.
Senjaku yang aku
cinta, paling aku cinta dan akan selalu aku cinta
Waktu jahat kala
itu. mengusirku dengan tidak sopan, tanpa senyummu aku pulang. Aku pamit pulang
senja, aku titipkan kopi dan sepucuk surat ini beserta cium, peluk dan bisikan
terhangat “aku rindu kamu” kepada semesta.
Aku menaruh
secangkir kopi ini di bawah pohon manggamu dengan sepucuk surat tentang
pengalamanku mendapatkan kopi ini yang kutindihkan diatas kopi. Aku harap kamu bisa
keluar sebentar untuk meminumnya sebelum dingin, agar kamu bisa merasakan
bagaimana nikmatnya kopi ini beserta rinduku, pelukku dan perjuanganku yang
telah larut di dalamnya.
Aku tidak sakit
hati perihal perkataan orang tuamu, terserah orang lain berkata aku tak pantas
untukmu, aku tolol maupun bucin. Asal kau tetap menjaga namaku dalam perasaan,
semua hinaan dari penduduk bumi tak akan kudengarkan.
Senjaku, pujaan
hatiku separuh tulang rusukku
Aku harap kau
tidak membagikan cerita ini ke orang lain, cerita yang sudah kutulis dengan
rinci di surat ini. Sebab aku takut kamu dikeroyok maupun dihina orang akan
seberuntugnya hidupmu. Aku ingin kelak kita menceritakannya berdua saja,
disepasang kursi diruang tamu dengan anak dan cucu-cucu kita yang menjadi
pendengarnya.
Komentar
Posting Komentar